Tak Akan Ada Lagi Gerhana

Bulan melompat dari satu dahan ke ranting yang lain
Menghindar sergapan Kala
Tembaga cahayanya menetes-netes
Embun menyerbu rimbun daun

Malam lesi purnama lesi
Tersungkur di atas tandus kapur

Nadya memanjat temaram bukit
Menyeret bulan turun
Mengeratnya jadi enam
seumpama kue ulang tahun

Seiris Nadya selipkan di bawah bantal
Menemani mimpi.

 

@28072018

 

There’ll be No More Eclipse

Hopped the moon from a branch to tiny twig to another shoot
Escaping the hungry Kala
Dripped its light, fell the dewdrops

Weary was the harvest moon
Sprawled above the hazy limestone

Nadya climbed up the tallest tree
Grabbed the moon
Sliced into flat pieces
Cuts of birthday cake
Share the pieces away to her friends

One Nadya hid under her pillow
Close to her dream.

 

 

Menghapus PR, Menegaskan Kemahahebatan Institusi Sekolah

Menghapus PR, Menegaskan Kemahahebatan Institusi Sekolah
Oleh Ichsan Hidajat

Selepas asar, berpuluh tahun lalu, saya punya kebiasaan bersepeda menuju rumah seorang sahabat, sekira empat kilometer dari rumah. Di teras berhias bunga-bunga kami berkumpul, biasanya 5 orang. Berbekal buku-buku pelajaran, kami nikmati sore dengan menyelesaikan tugas-tugas dari guru di sekolah. Sebagian cukup dengan membubuhkan isian atau jawaban singkat, ada pula yang memerlukan diskusi antarteman, dan selalu saja ada tugas dari guru IPA, bahasa Indonesia atau mapel lainnya yang menantang kami untuk mencari jawaban dari alam sekeliling. Dari tanaman dan hewan sekitar rumah, dari lukisan sungai dan udara bersihnya. Atau memaksa kami mencari solusi dari buku, koran atau majalah di bawah meja. Atau menodong kakak dan sesekali orang tua untuk bantu menaklukkan soalan. Semuanya kami lakukan dengan keseruan yang membuncah tak terwadahi. Gelak tawa di antara debat sebelum bersua jawaban yang kami sepakati. Atau tidak disepakati. Lalu menyiapkan pertanyaan balik kepada guru sebagai hasil dari eksplorasi kami sekelompok.

Salah satu dari kami pandai menyiapkan tempat, menyediakan suguhan kudapan kampung atau menyulap nasi liwet harum nan hangat. Dalam hal mencari jawaban soal, hmm, dia percayakan saja kepada teman-temannya. Seorang lagi mahir memilih sumber bacaan, mengatur alur diskusi dan merumuskan jawaban terbaik. Saya bagian menuliskannya rapi pada kertas kelompok. Setiap anggota kelompok piawai pada porsinya masing-masing.

Dan sekarang muncul wacana dari Menteri Muhajir tentang penghapusan PR alias pekerjaan rumah. (https://www.google.co.id/amp/s/mojok.co/red/rame/moknyus/mendikbud-berencana-menghapus-pr-sekolah/%3famp.) Sekolah tidak dibolehkan lagi membebani siswanya dengan setumpuk pekerjaan rumah. Semua tugas yang berkaitan dengan pembelajaran hendaknya diselesaikan di sekolah pada jam-jam sekolah. Dengan demikian, usai sekolah siswa dapat menghabiskan waktu sepenuhnya bersama keluarga.

Muncul pertanyaan iseng dari seorang teman: masih adakah waktu dan sisa tenaga guru untuk mendampingi para siswa dalam menyelesaikan semua (*semua!*) tugas-tugas kokurikuler dan ekstrakurikuler? Lalu, – sebaliknya – bagaimana dengan reaksi siswa? Nyamankah mereka bila saat-saat belajar mandiri dan pribadi tetap didampingi oleh guru, dibatasi pagar sekolah dan suasana serbaformal pembelajaran?

Apabila disandingkan dengan Finlandia sebagai negara yang meniadakan pemeringkatan, menghapus ujian nasional dan menghentikan pemberian PR bagi siswa, pertanyaannya adalah bila tanpa PR, sudahkah pembelajaran tuntas di sekolah mewujud? Terlebih lagi penumbuhan karakter kemandirian dalam belajar, penjelajahan dan juga penemuan (_inquiry_) oleh siswa sebagai insan pembelajar dengan memanfaatkan lingkungan sekitar yang cakrawalanya warna-warni tak terbatas.

Jangan-jangan, alih-alih mencapai arasy pembelajaran tuntas, sekolah malah bertransformasi menjadi institusi mahatahu dan mengabaikan kebenaran-kebenaran lain yang meliar di udara terbuka, menunggu untuk direnggut oleh para intelektual muda cerdas dan serbaingintahu, kemudian mengelopak dan menyebarkan wangi pengetahuan segar, alamiah dan orisinal. Jangan-jangan sekolah berubah menjadi makhluk mahahebat sebagai satu-satunya pemilik sumber pengetahuan dan pemonolopi kebenaran keilmuan. Menurut hemat saya, ini adalah titik kritis yang bila tidak dikelola dengan bijak akan menjerumuskan institusi sekolah itu sendiri.

Padahal, lihatlah ke daerah-daerah yang jauh dari ibukota kabupaten, di ketiak bukit atau di sempadan pantai tak terjamah. Keterbatasan fasilitas yang tersedia di sekolah, ketiadaan kekayaan buku perpustakaan dan koneksi internet danĀ  – malah lebih memilukan lagi – keterbatasan jumlah guru bakal menjadi tantangan bagi penerapan penghapusan PR.

Selebihnya, anak-anak bakal kehilangan serunya belajar kelompok, meriah diskusi penuh canda, mesra debat seraya mengerling teman sekelompok yang sungguh rupawan lagi pandai. Kehilangan semua ritual sore selepas Asar seperti yang kami lahap berpuluh tahun lalu.

*belajarnulisartikel

Belum Ada Judul

Selepas pagi ia melaju sepeda menyentuh sempadan kota. Menikung sekawanan embun. Gigil daunan. Melompat tinggi, lantang serunya memasrah merpati dari dekapan kepada rimbun cahaya di kaki langit.

Di ambang petang ia mengayuh jauh berpeluk remang hutan lekukan kelabu bukit. Matahari mengatup. Menepi di ceruk sungai. Hela napas. Berjingkat melompat, menghalau merpati hinggap pada berkas-berkas udara.

Merpati menemukan jalan pulang.
Selalu begitu. Setiap hari.

Kali ini ia sendiri yang berangkat menembus pekat kabut memanjat ke kota angin. Terbang.

Terbang.

Pemantik Api

Lelaki dan meja kayu di teras rumah. Dua kursinya. Mencecap bibir cangkir kopi pagi. Mengeja baris-baris puisi. Membagi kartu-kartu remi. Bermain sendiri, mengalahkan diri sendiri.

Lelaki dan seekor burung kakatua. Menirukan salam selamat pagi. Mengulang-ulang hapalan kata yang itu-itu lagi. seperti membaca sesobek koran pembungkus martabak. Menekan dada. Mengutuk detik-detik sunyi.

Lelaki dan perempuan berdada hangat. Mengelapi peluh penat asin keringat. Membentangkan semestanya untuk meludahkan geramang di ujung hari. Menikmati seporsi sepi.

Lelaki berikutnya, aku. Terjebak malam beku deru angin. Kehilangan pemantik api.

 

@28062018