Menghapus PR, Menegaskan Kemahahebatan Institusi Sekolah
Oleh Ichsan Hidajat
Selepas asar, berpuluh tahun lalu, saya punya kebiasaan bersepeda menuju rumah seorang sahabat, sekira empat kilometer dari rumah. Di teras berhias bunga-bunga kami berkumpul, biasanya 5 orang. Berbekal buku-buku pelajaran, kami nikmati sore dengan menyelesaikan tugas-tugas dari guru di sekolah. Sebagian cukup dengan membubuhkan isian atau jawaban singkat, ada pula yang memerlukan diskusi antarteman, dan selalu saja ada tugas dari guru IPA, bahasa Indonesia atau mapel lainnya yang menantang kami untuk mencari jawaban dari alam sekeliling. Dari tanaman dan hewan sekitar rumah, dari lukisan sungai dan udara bersihnya. Atau memaksa kami mencari solusi dari buku, koran atau majalah di bawah meja. Atau menodong kakak dan sesekali orang tua untuk bantu menaklukkan soalan. Semuanya kami lakukan dengan keseruan yang membuncah tak terwadahi. Gelak tawa di antara debat sebelum bersua jawaban yang kami sepakati. Atau tidak disepakati. Lalu menyiapkan pertanyaan balik kepada guru sebagai hasil dari eksplorasi kami sekelompok.
Salah satu dari kami pandai menyiapkan tempat, menyediakan suguhan kudapan kampung atau menyulap nasi liwet harum nan hangat. Dalam hal mencari jawaban soal, hmm, dia percayakan saja kepada teman-temannya. Seorang lagi mahir memilih sumber bacaan, mengatur alur diskusi dan merumuskan jawaban terbaik. Saya bagian menuliskannya rapi pada kertas kelompok. Setiap anggota kelompok piawai pada porsinya masing-masing.
Dan sekarang muncul wacana dari Menteri Muhajir tentang penghapusan PR alias pekerjaan rumah. (https://www.google.co.id/amp/s/mojok.co/red/rame/moknyus/mendikbud-berencana-menghapus-pr-sekolah/%3famp.) Sekolah tidak dibolehkan lagi membebani siswanya dengan setumpuk pekerjaan rumah. Semua tugas yang berkaitan dengan pembelajaran hendaknya diselesaikan di sekolah pada jam-jam sekolah. Dengan demikian, usai sekolah siswa dapat menghabiskan waktu sepenuhnya bersama keluarga.
Muncul pertanyaan iseng dari seorang teman: masih adakah waktu dan sisa tenaga guru untuk mendampingi para siswa dalam menyelesaikan semua (*semua!*) tugas-tugas kokurikuler dan ekstrakurikuler? Lalu, – sebaliknya – bagaimana dengan reaksi siswa? Nyamankah mereka bila saat-saat belajar mandiri dan pribadi tetap didampingi oleh guru, dibatasi pagar sekolah dan suasana serbaformal pembelajaran?
Apabila disandingkan dengan Finlandia sebagai negara yang meniadakan pemeringkatan, menghapus ujian nasional dan menghentikan pemberian PR bagi siswa, pertanyaannya adalah bila tanpa PR, sudahkah pembelajaran tuntas di sekolah mewujud? Terlebih lagi penumbuhan karakter kemandirian dalam belajar, penjelajahan dan juga penemuan (_inquiry_) oleh siswa sebagai insan pembelajar dengan memanfaatkan lingkungan sekitar yang cakrawalanya warna-warni tak terbatas.
Jangan-jangan, alih-alih mencapai arasy pembelajaran tuntas, sekolah malah bertransformasi menjadi institusi mahatahu dan mengabaikan kebenaran-kebenaran lain yang meliar di udara terbuka, menunggu untuk direnggut oleh para intelektual muda cerdas dan serbaingintahu, kemudian mengelopak dan menyebarkan wangi pengetahuan segar, alamiah dan orisinal. Jangan-jangan sekolah berubah menjadi makhluk mahahebat sebagai satu-satunya pemilik sumber pengetahuan dan pemonolopi kebenaran keilmuan. Menurut hemat saya, ini adalah titik kritis yang bila tidak dikelola dengan bijak akan menjerumuskan institusi sekolah itu sendiri.
Padahal, lihatlah ke daerah-daerah yang jauh dari ibukota kabupaten, di ketiak bukit atau di sempadan pantai tak terjamah. Keterbatasan fasilitas yang tersedia di sekolah, ketiadaan kekayaan buku perpustakaan dan koneksi internet danĀ – malah lebih memilukan lagi – keterbatasan jumlah guru bakal menjadi tantangan bagi penerapan penghapusan PR.
Selebihnya, anak-anak bakal kehilangan serunya belajar kelompok, meriah diskusi penuh canda, mesra debat seraya mengerling teman sekelompok yang sungguh rupawan lagi pandai. Kehilangan semua ritual sore selepas Asar seperti yang kami lahap berpuluh tahun lalu.
*belajarnulisartikel